Perbedaan sudut pandang dalam melihat satu permasalahan yang berdampak pada perbedaan kesimpulan sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar terjadi.
Yang tidak wajar, dan tidak boleh dianggap biasa, adalah ketika perbedaan tersebut berdampak pada pengkafiran. Karena sesungguhnya dari ‘pengkafiran’ ke ‘pembunuhan’ hanya satu langkah.
***
Diantara penyebab sebagian orang begitu mudah melontarkan statement ‘kafir’, ‘murtad’, dan sebagainya adalah karena ilmu yang diperoleh tidak melalui tahapan-tahapan yang semestinya dilalui seorang pencari ilmu.
Dalam konteks ini, menarik untuk dicermati penjabaran Dr. Hamzah al-Bakri tentang apa saja tahapan dan langkah-langkah yang mesti ditempuh seorang penuntut ilmu.
Beliau menyebut ada tujuh langkah pokok :
Pertama, memberikan perhatian utama pada ilmu-ilmu alat
Kedua, bertahap dalam mempelajari berbagai level dalam satu cabang ilmu
Ketiga, memenuhi semua yang dituntut dalam setiap level tersebut
Keempat, bertahap ketika berpindah dari satu ilmu ke ilmu yang lain
Kelima, belajar di bawah bimbingan guru yang berkompeten dan menaiki tangga demi tangga keilmuan di bawah pengawasan mereka
Keenam, memiliki gambaran yang jelas dan lengkap terhadap setiap cabang ilmu dengan menguasai prinsip-prinsip dasarnya
Ketujuh, mempelajari ilmu-ilmu keislaman dengan pandangan yang komprehensif (menyeluruh dan saling menyempurnakan)
Lalu beliau memberikan satu contoh menarik.
Tafsir al-Quran, yang oleh sebagian orang dipandang sebagai sesuatu yang ‘mudah’, oleh para ulama dulu diletakkan di bagian ‘terakhir’ untuk dipelajari. Karena untuk memahami ayat demi ayat dalam al-Quran yang tentu mengandung berbagai dimensi keilmuan, seseorang mesti paham dulu ilmu alat dengan segala variannya, memahami ilmu fiqih untuk bisa memahami ayat-ayat ahkam, memahami ilmu ushul untuk bisa memahami dasar-dasar hukum dalam al-Quran dan seterusnya.
Karena itu, para ulama yang menulis tafsir, seperti Imam Baidhawi, Imam ar-Razi dan sebagainya, mereka menulis tafsir di akhir-akhir kehidupan mereka.
Mereka baru ‘berani’ menafsirkan al-Quran setelah menguasai dan menulis berbagai bidang keilmuan; Ushul Fiqih, Fiqih, Ilmu Kalam dan sebagainya.
Ini berbanding terbalik dengan pembelajaran tafsir di masa ini yang rata-rata sudah dipelajari di tahun pertama belajar. Padahal ilmu alat untuk memahami kata demi kata dalam al-Quran belum dimiliki secara memadai, atau bahkan belum ada sama sekali.
Semoga hal ini menjadi perhatian bersama.
والله أعلم وأحكم