Bagaimana
hukum merayakan tahun baru bagi muslim?
Ternyata banyak kerusakan yang
ditimbulkan sehingga membuat perayaan tersebut terlarang.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun
Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum
masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar
Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang
telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru
ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari
Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan
mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga
tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar
setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang
secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama
bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama
bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar
Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat
menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan
sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada
pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh
orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua
hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka
senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba
di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk
senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian
dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun
setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin.
Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru
orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah
perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar
perayaan yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha.
Perhatikan penjelasan
Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan
secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara
periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi
dalam ied terkumpul beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- Ied
yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan
mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
- Ied
yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau
golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang
terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya
adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan.
Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk
mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping
menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain.
Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai
orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang
Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik
dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ
قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ
أُولَئِكَ »
“
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “
Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “
Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh
kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian
ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian
pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata,
“Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “
Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -
rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan
syibr (sejengkal) dan
dziro’ (hasta) serta lubang
dhob
(lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa
tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan
Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan
berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini
adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah
terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai
model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk
pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (
tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai
orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan
kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As
Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita
sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir
dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang
jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam
pergantian tahun.
“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending
malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu
lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”,
demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan
semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan
tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin,
lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi
menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai
kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan,
“Daripada
menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending
diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka
cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud
ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita
telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan
bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi
selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak
dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul
Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan
selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir
(seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah
sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’,
atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran,
namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat
hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan
seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat
pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan
selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham
agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak
mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu,
barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat,
bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka
Allah
Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa
banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu
detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan
lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan
orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah
sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan
shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya,
mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi
tanpa ditunaikan sama sekali.
Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah
bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara
sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa
besar.
Ibnul Qoyyim -
rahimahullah- mengatakan, “Kaum
muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan
shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang
paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta
orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –
rahimahullah-
juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena
meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena
itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa
besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).”[12]
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat
lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]
Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru
sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan
merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang
utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]
Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari
oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena
bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga
malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut
namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan
mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat
shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul
orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah
kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur
lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu
yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari
ikhtilath (campur
baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan
mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan
kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang
berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan
muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“
Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang
pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat.
Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara.
Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan
melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan
tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet
atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran
karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang
yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu
muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu
Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan
agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan,
tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun
itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang
sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja
dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan
perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan
malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu
malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam
tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang
memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10
juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang
dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang
menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah
sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang
dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang
api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal
Allah
Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan:
“Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu
Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan,
“Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang
benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang
menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang
keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan,
“Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk
berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan
tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita
butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang.
Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “
(Ketahuilah
bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan
waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.
Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya
seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia
berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru.
Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan
ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang
yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah
Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan
apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk
berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan,
“Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa
menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan
umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara
beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak
kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam
tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir
seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru.
Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya.
Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat
waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan
melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan
dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita
pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin?
Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah
semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali
bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam
saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah
Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini
dengan benar.
“Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad
wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber : Artikel Rumaysho.Com
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal