-->
w
| Tentang | Ketentuan| Privacy & Policy | Disclaimer | | Alamat : Jalan Desa Harapan Sudirman No. 71A Duri Riau 28884 |
| ☎ Call / Chat Wa : 0853 6582 0822 | ✉ Email :admin@duririau.com |

Kami menjual Rumah Siap Huni, Kaplingan Strategis, juga menerima Borongan Bangunan




Harga Promo Khusus Member, Ayo bergabung, S & K Berlaku



Popular Post

Kamis, 10 Maret 2011

MANUSIA TIDAK ADA YANG SEMPURNA : KEFATALAN SALAFY, FAHAM TAAT PADA PEMERINTAH YANG ZALIM

Copy Paste dari :

Bagaimana Kezaliman Saudi ?
Kesalahan dalam Wala' dan Bara' pada Muslim dan Musuh Islam dan tidak adil dalam Hukum
( kekebalan Hukum pada pihak kerabat Kerajaan dll )
 
Re: TUDUHAN SALAFY ANTEK & BUDAK PENGUASA : Mengapa Ahlus Sunnah anti-demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi?

Kelihatannya di sini Salafi mengikuti pemimpin yang zholim meski tega membantai
ribuan/puluhan ribu rakyatnya asalkan sang pemimpin tetap shalat. Apakah itu
ajaran Islam?

Lihat pidato Khalifah Umar ra bagaimana dia minta ditegur jika salah. Saat
seorang sahabat menjawab bahwa dia akan meluruskan Umar ra dengan pedangnya
(membunuhnya), Khalifah Umar justru memberi selamat. Para sahabat yang lain pun
diam saja tidak mencela orang tsb.

Itulah dalam Islam. Menegur pemimpin, bahkan melengserkannya jika salah itu
tidak masalah. Imam Shalat saja saat Shalat jika kentut, maka tidak layak lagi
jadi Imam Shalat. Harus diganti. Demikian pula pemimpin negara. Silahkan baca:

Pidato beliau ketika itu. "Saya telah diberi kekuasaan (tauliyah) atas kalian,"
kata Abu Bakar, "Padahal saya bukan yang terbaik di antara kalian. Apabila saya
benar, dukunglah kepemimpinan saya. Tapi bila salah atau menyimpang, luruskanlah
saya. Taatilah sepanjang saya mentaati Allah dalam memimpin kalian. Tapi bila
saya berbuat ma'shiyat, maka kalian wajib tidak mentaatinya."

Sahabat Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Siapa di antara kalian melihat
adanya penyimpangan pada diri saya, hendaklah ia meluruskannya." Salah seorang
yang mendengar ucapan beliau langsung menanggapi seraya mengatakan, "Kalau saya
melihat ada penyimpangan pada dirimu, maka saya akan meluruskannya dengan
pedangku." Kontan ketika mendengar tanggapan ini, Khalifah Umar berujar,
"Alhamdulillah bila di antara umat Muhammad ada yang mau meluruskan penympangan
Umar dengan pedangnya."
http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/024.htm
http://www.elitha-eri.net/2007/06/19/pasti-aku-meluruskannya-dengan-pedangku-ini\
/


Kalau selama shalat tidak boleh didemo atau diturunkan, maka seorang pemimpin
bisa berbuat sewenang-wenang. Dia bisa membantai jutaan rakyatnya dengan tenang.
Kan dia sudah shalat. Pemimpin tsb bisa korupsi ribuan trilyun. Kan dia sudah
shalat.

Maaf, paham seperti itu bertentangan dengan sunnah di atas.

Barangsiapa mengangkat senjata terhadap kami tidaklah dia dari golongan kami dan
barangsiapa menipu kami maka dia bukan dari golongan kami. (HR. Bukhari)

Pemimpin yang membantai ummat Islam, maka dia bukanlah tergolong seorang Muslim.
Demikian pula pemimpin yang menipu rakyatnya.

Apabila kamu melihat seorang ulama bergaul erat dengan penguasa maka ketahuilah
bahwa dia adalah pencuri. (HR. Ad-Dailami)

Dalam Surat Al Ma'uun disebut bahwa orang yang shalat, tapi enggan menolong
fakir miskin/rakyatnya sebagai pendusta agama dan celaka:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

Itulah orang yang menghardik anak yatim,

dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,

(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,

orang-orang yang berbuat ria.

dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Ajaran Islam itu luas. Bukan cuma shalat. Jika shalat seperti Mirza Ghulam
Ahmad, tapi menyimpang dan mengaku sebagai Nabi, apa perlu ditaati:

"Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari
jalan (yang benar)." [Al Ahzab 68]

Nabi Ibrahim memberontak terhadap Raja Namrudz. Nabi Musa berontak terhadap
Fir'aun. Nabi Muhammad juga memberontak terhadap pimpinan Mekah Abu Sofyan.
Bahkan terhadap pimpinan Yatsrib, Abdullah bin Ubay yang masuk Islam dan shalat
pun sehingga mendirikan masjid ummat Islam tidak wajib taat padanya saat dia
menyimpang dari jalan yang lurus.

"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan
untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah
menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya
mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih." [At Taubah 107-108]

Lihat meski membangun Masjid dan Shalat, tapi jika zhalim tidak wajib didukung.

Hendaklah kamu beramar ma'ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar
(melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu
orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang
baik-baik di antara kamu berdo'a dan tidak dikabulkan (do'a mereka). (HR. Abu
Zar)

Wahai segenap manusia, menyerulah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang
mungkar sebelum kamu berdo'a kepada Allah dan tidak dikabulkan serta sebelum
kamu memohon ampunan dan tidak diampuni. Amar ma'ruf tidak mendekatkan ajal.
Sesungguhnya para robi Yahudi dan rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar
ma'ruf dan nahi mungkar, dilaknat oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka.
Mereka juga ditimpa bencana dan malapetaka. (HR. Ath-Thabrani)

Barangsiapa melihat suatu kemungkaran hendalah ia merobah dengan tangannya.
Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu
juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah. (HR.
Muslim)

Lihat ajaran Islam itu mengajarkan kita untuk amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh
kebaikan dan mencegah kejahatan). Perintah itu bukan cuma untuk penguasa. Tapi
juga individu. Jika ada seseorang mau membunuh anak kita misalnya. Ya kita wajib
mencegahnya dengan segala daya. Bukan menunggu pemerintah untuk mencegahnya
karena itu terlambat.

Luqman juga menyuruh anaknya untuk menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah
perbuatan mungkar dan bersabar terhadap resiko yang mungkin dihadapi karena itu.

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)." [Luqman 17]

http://media-islam.or.id/2009/10/19/amar-ma%E2%80%99ruf-nahi-munkar-memerintahka\
n-kebaikan-dan-mencegah-kemungkaran/

--- In syiar-islam@yahoogroups.com, Dedy Iskandar <dysar06@...> wrote:
>
> Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah
> Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)
>
>
>
> Telah dimaklumi
> bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban
> setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi
> -shallallahu’alaihi wa sallam-:
>

>
>Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,
> hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan
> lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah
selemah-lemahnya
> iman.(HR. Muslim, no. 186)
>
> Â
>
> Akan tetapi, masih
> banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang
> dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang
> dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan
> penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian
media
> massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula
> para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai”
yang menurut
> mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi
> korban.
>
> Â
>
> Namun yang
> sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut
> sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan
> demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah
> muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan
> Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal
> Jama’ah dalam masalah ini?
>
> Â
>
> Rasulullah
> -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali
wahyu
> yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali
> perkataan beliau -shallallahu’alaihi waÂ
> sallam-, beliau bersabda:
>
> Â
>
> “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia
> menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang
> penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang
> diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban
> (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh
bin
> Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
> â€"rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]
>
> Â
>
> Demikianlah
> bimbingan Nabi yang mulia teladan kita â€"shallallahu’alaihi wa sallam-
dalam menasihati
> penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas
> oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus
> Sunnah wal Jama’ah?
>
> Â
>
> Al-Imam
> Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya
> meriwayatkan:
>
> Â
>
> “Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau
> sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan
> yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau
> menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira
bahwa
> aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?!
> Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah
> pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.”
[HR.
> Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il
> radhiyallahu’anhu]
>
> Â
>
> Al-Hafizh Ibnu
> Hajar â€"rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid
> -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau
tanpa
> aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam
> perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat
> dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak
terjadi
> pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat
> Fathul Bari, (13/51)]
>
> Â
>
> Al-Hafizh Ibnu
> Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang
kemungkaran
> yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata
> bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang
> zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang
> salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama
> Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar),
> kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar â€"rahimahullah- berkata dalam menjelaskan
> perkataan Usamah,
>
> Â
>
> “Sungguh aku
> telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka
> sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran
atas
> kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah
> belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”,
> kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari
> muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah
> mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia
> (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
>
> Â
>
> Al-Qodhi ‘Iyadh
> â€"rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu
> (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia
> khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan
> adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut
> lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
>
> Â
>
> Al-‘Allamah
> Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi â€"rahimahullah- juga menjelaskan perkataan
Usamah
> bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara
> rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga
aku
> tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku
(Usamah)
> menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya
> fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan
> terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut
> terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada
> terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya
jama’ah”.
> [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]
>
> Â
>
> Al-Imam
> An-Nawawi â€"rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat
> Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah
> yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah,
> “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana
> pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam
hadits ini
> terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati
mereka
> secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka
> berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan,
> namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran
> penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya
terang-terangan,
> agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim,
(18/118)]
>
> Â
>
> Peringatan:
> Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami
> garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan
pada
> semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat,
sebagaimana
> perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan
dalil
> oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan,
> yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.
>
> Â
>
> Al-Imam
> Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim:
> “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah,
“Ia
> (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan
> perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk
> menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari
> sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan
> terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan
> kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
>
> Â
>
> Al-Imam
> Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui
> kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa
tersebut,
> dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan
tetapi
> sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm
> -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi
> dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa)
> Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]
>
> Â
>
> Asy-Syaikh
> Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di â€"rahimahullah- berkata,
“Bagi siapa
> yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia
> memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak,
dengan
> cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh
> An-Nadhirah, (hal. 50)]
>
> Â
>
> Asy-Syaikh
> Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz â€"rahimahullah- berkata,
“Bukan
> termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di
atas
> mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan
> (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah
dalam
> perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak
> bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat
> mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada
> penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat
Haqqur
> Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
>
> Â
>
> Faqihuz Zaman
> Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin â€"rahimahullah- berkata,
> “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua
> mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai
> dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah
> tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi
> masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan
> revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari
> kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun
> Nazhor, (hal. 211)]
>
> Â
>
> Dari penjelasan
> para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak
> boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di
> mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan
> secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan
> melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:
>
> Â
>
> • Memprovokasi
> masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut
> tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan
> kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh
> Al-‘Utsaimin â€"rahimahumullah-)
>
> Â
>
> • Cara mengingkari
> kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan
> terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi
> â€"rahimahumallah-)
>
> Â
>
> • Pencemaran nama
> baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan
> masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini
> â€"rahimahullah-)
>
> Â
>
> • Membuat
> masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan
> Asy-Syaikh Bin Baz â€"rahimahullah-)
>
> Â
>
> • Menyebabkan
> permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih
> Al-Fauzan â€"hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
>
> Â
>
> • Menjadi sebab
> ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh
> â€"rahimahullah-)
>
> Â
>
> • Menyebabkan
> tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh
> Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi
â€"rahimahullah-
> dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor
Shahih
> Muslim, hal. 335)
>
> Â
>
> • Menghinakan
> sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani â€"rahimahullah-)
>
> Â
>
> • Munculnya riya’
> dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin
-rahimahullah-)
>
> Â
>
> • Menyelisihi
> dalil dan jalan As-Salafus Shalih
>
> Â
>
> • Mengikuti jalan
> ahlul bid’ah (Khawarij)
>
> Â
>
> Â
>
> Renungan Bagi para Pencela Pemerintah
>
> Â
>
> Menasihati
> penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang
> merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap
> pemberontakannya kepada pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak
> berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam
> kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh
Nabi
> â€"shallallahu’alaihi wa sallam-:
>
> Â
>
> “Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk
> yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang
> terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000),
dari
> Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam
> Al-Misykah, (no. 3554)]
>
> Â
>
> Asy-Syaikh Ahmad
> bin Umar Bazmul â€"hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara
> rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang
> diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”
>
> Â
>
> Beliau
> (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul â€"hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa
> menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij
dalam
> membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya
> dengan senjata, tapi juga dengan lisan.
>
> Â
>
> Beliau berkata:
> “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan
> darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam
> At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
>
> Â
>
> “Aku tidak akan
> menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka
dikatakan
> kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij)
dalam
> membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan
> membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada
> (Khawarij) dalam membunuhnya”.
>
> Â
>
> Maka camkanlah
> baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang
> kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”
>
> Â
>
> Kemudian beliau
> (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada
> catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat
> terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat
> (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata.
Maka
> camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”
>
> Â
>
> Beliau juga
> menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz â€"rahimahullah-, “Bukan termasuk
manhaj
> Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar,
> karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat
> dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada
> pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel
As-Sunnah
> fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh
>
> Â
>
> Asy-Syaikh Ahmad
> bin Umar
>
> Bazmul
> â€"hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]
>
> Â
>
> Â
>
> Syubhat dan Bantahannya
>
> Â
>
> Keterangan
> berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama di atas
> sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:
>
> Ahlus Sunnah
> mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak
> penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa
>
> Mengapa Ahlus
> Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan
dari
> pesta demokrasi!?
>
> Â
>
> Semua syubhat
> ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:
>
> Â
>
> Pertama: Ahlus
> Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan khalayak
bukan
> berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula karena mencari muka
kepada
> penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan Islam dalam menasihati penguasa.
>
> Â
>
> Kedua: Ahlus
> Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan terhadap pemerintah muslim yang
> terlibat dalam system kufur demokrasi atau yang tidak berhukum dengan
syari’at
> Islam, karena ada syarat-syarat pengkafiran yang harus terpenuhi dan
> terangkatnya penghalang-penghalang. Olehnya, Ahlus Sunnah tetap menaati
seorang
> pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih
> muslim.
>
> Â
>
> Masih ada
> beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan
> bantahannya â€"insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah
ini:
>
> Â
>
> Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara
> terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij
>
> Â
>
> Dari penjelasan
> di atas, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun
> menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa
> secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij,
> sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:
>
> Â
>
> “Lebih dari itu,
> sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan
> dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan
> beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa
> bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan
> fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman
Ba’abduh
> -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku
Madarik
> An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya
sekedar
> memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut
> seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Lihat Siapa
> Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]
>
> Â
>
> Asy-Syaikh
> Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- menjawab syubhat ini, dalam
> menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah
> -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam
pembagian
> ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
>
> Â
>
> “Ini merupakan
> dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata,
> ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat
> pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya
sekedar
> mengingkari beliau (dengan ucapan).
>
> Â
>
> Kami sangat
> memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata,
> kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah
> mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu
> yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi
> mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan
> kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan
> kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]
>
> Â
>
> Penjelasan di
> atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama
> Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa
dalam
> pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat
> untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di
> mimbar bebas.
>
> Â
>
> Al-Hafizh Ibnu
> Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan
kepada
> para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari,
> oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar â€"rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru
> Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]
>
> Â
>
> Bahkan
> sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya,
karena
> biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki
sedikit
> ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam
jajaran
> ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin
> Muhammad Adh-Dha’if â€"rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah
ini
> merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam
> Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta
Adimis
> Sama’, (hal. 21)]
>
> Â
>
> Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara
> terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan,
> dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri â€"radhiyallahu’anhu-
dalam
> menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud
> â€"rahimahullah-
>
> Â
>
> Adapun
> pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan
> penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia
> Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin
Qu’ud
> â€"rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya,
saya
> memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan
> perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas,
> maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan
> dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui
> mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut
> jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”
>
> Â
>
> Syubhat ini kami
> jawab dari beberapa sisi:
>
> Â
>
> Pertama: Kalau
> fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah
> memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:
>
> Â
>
> 1). Dengan
> memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar
> yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan
> terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
>
> Â
>
> 2). Bukan semua
> orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki
ilmu
> dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan
masyarakat.
> Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu
> Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri
> -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan
> dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan
murid
> (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada
saat
> itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.
>
> Â
>
> Kedua: Kalau
> kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri
> -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat
> terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan
terjadi
> di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk
> ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang
> dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi
> â€"rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.
>
> Â
>
> Asy-Syaikh Ahmad
> bin Umar Bazmul â€"hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi
â€"rahimahullah-
> tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”,
yakni
> jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia,  maka inilah
yang wajib atasnya, tidak yang
> lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”
>
> Â
>
> “Adapun perkataan
> beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan
> mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang
> melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.”
> Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa
secara
> terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”
>
> Â
>
> Kemudian beliau
> (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul â€"hafizhahullah-) berkata dalam catatan
> kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan
> Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah
> Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah
ketika
> ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449
no.
> 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi
ghayri
> Minbar]
>
> Â
>
> “Oleh karenanya,
> ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam
> -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena
> pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan,
tanpa
> ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam
> -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu
A’lam.”
> (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin
> Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)
>
> Â
>
> Ketiga:
> Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu benar-benar di depan
> penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil
> faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang
penguasa
> bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus
> sebagai seorang pemimpin.
>
> Â
>
> Adapun jika
> dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di
mimbar-mimbar
> bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau
> didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi
> adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk
memberontak
> kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran
> nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia
> bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!
>
> Â
>
> Asy-Syaikh
> Al-‘Utsaimin â€"rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari
kemungkaran
> yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini.
> Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap
> seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia
> berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”,
> “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang
> kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa
> tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau
> penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia
> tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan
oleh
> generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya,
> jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi
> pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika
> ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk
> kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang
kejelekan
> seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat
> menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia,
> lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan
> ke-62, hal. 46)
>
> Â
>
> Keempat: Jika
> fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud â€"rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa
ada
> batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan
> lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas
> bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang
> kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara
> kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa
> Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud â€"rahimahullah-. Ketahuilah â€"kami mencintai
kebaikan untuk
> kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:
>
> Â
>
> Pertama:
> Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah
> ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan
> yang lebih selamat?!
>
> Â
>
> Kedua: Jika kita
> mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana
> diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan
> para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.
>
> Â
>
> Ketiga: Tidakkah
> kalian memikirkan mafsadat yang besar â€"terutama bagi orang-orang awam- jika
> pintu ini dibuka?!
>
> Â
>
> Â
>
> Asy-Syaikh Ahmad
> bin Umar Bazmul â€"hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran
besar
> yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati
> penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati
> secara rahasia,
>
> Â
>
> Pertama:
> Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan
untuk
> diam-diam dalam menasihati penguasa.
>
> Â
>
> Kedua:
> Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan
> Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.
>
> Â
>
> Ketiga:
> Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang
> menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.”
(HR.
> Al-Bukhari)
>
> (Lihat As-Sunnah
> fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul,
> softcopy dari www.sahab.net)
>
> Â
>
> Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa
> seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid
> -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler
pemerintahan
> modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa
> bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan
> terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi
> damai.
>
> Â
>
> Menjawab syubhat
> ini kami katakan:
>
> Â
>
> Pertama: Hadits
> ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum itu tidak
bermakna
> harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus
> memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya.
> Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti
> penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz â€"rahimahullah-, “Tapi metode yang
dicontohkan
> Salaf adalah: menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para
> ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa
bisa
> diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)
>
> Â
>
> Kedua: Jika
> ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz
â€"rahimahullah-
> tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah
> kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau
> menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?
>
> Jawabnya: Tetap
> tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf
> dalam menghadapi keadaan semacam ini.
>
> Â
>
> Al-Imam Ibnu
> Abdil Barr â€"rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk
menasihati
> penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan
doa,
> karena dahulu mereka â€"yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”.
Kemudian
> beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-,
> beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah
> -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.”
[Lihat
> At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]
>
> Â
>
> Al-Imam Al-Hasan
> Al-Bashri â€"rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar
dengan
> musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala
> mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat
> senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah.
> Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian
> beliau membaca firman Allah:
>
> Â
>
> “Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel
> disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh
Fir’aun
> dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat
Madarikun
> Nazhor, (hal. 6)]
>
> Â
>
> Penjelasan para
> ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa
> sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:
>
> Â
>
> “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai
> (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar,
> karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(pemerintah)
> kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan
> Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)
>
> Â
>
> Juga sabda Nabi
> -shallallahu’alaihi wa sallam-:
>
> Â
>
> “Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian)
> kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya,
> “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab:
> “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian
(berdoa).”
> (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)
>
> Â
>
> Dan sabda Nabi
> -shallallahu’alaihi wa sallam-:
>
> Â
>
> “Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para
> pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta
hak
> mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-
bersabda,
> “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka
> adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR.
Muslim
> dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
>
> Â
>
> Maka jelaslah,
> ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa,
> tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai
> dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan
penguasa
> di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah
Ta’ala
> yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam
> Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita,
> Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum-
> adalah sabar dan doa.
>
> Â
>
> Inilah
> sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala
> dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.
>
> Â
>
> Wallahu A’la wa
> A’lam wa Huwal Muwaffiq.
>
> Â
>
> (Artikel ini
> dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami di www.almakassari.com)
>
> Â
>
> [1] Meskipun
> Marwan lahir dua atau empat tahun setelah hijrahnya Nabi -shallallahu’alaihi
wa
> sallam- ke Madinah, namun ia tidak pernah melihat Nabi -shallallahu’alaihi
wa
> sallam-. Demikian pendapat Al-Imam Al-Bukhari â€"rahimahullah- [Lihat
At-Tahdzib,
> (10/82/no. 167) dan At-Taqrib, (no. 6567)]
>
> Â
>
> Sumber:
http://kaahil.wordpress.com/2010/07/17/tuduhan-salafy-antek-budak-penguasa-menga\
pa-ahlus-sunnah-anti-demokrasi-namun-tetap-menaati-pemimpin-yang-dihasilkan-dari\
-pesta-demokrasi/

>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>



Tidak ada komentar:

Posting Komentar