*PESANTREN-PESANTREN KEREN DI ERA MAJAPAHIT*
Fatchuri Rosidin (@fatchuri_fatah)
(Penulis buku _Menebar Cahaya di Negeri Sekeping Surga_)
Di Hari Santri ini, tak lengkap rasanya kalau tidak membahas pesantren; tempat para santri belajar. Saya bahas sisi yang sedikit berbeda: *pesantren di era Majapahit*.
Serius? Jaman Majapahit ada pesantren? Memangnya Islam sudah ada di jaman Majapahit? Mungkin itu pertanyaan yang terlintas saat membaca judul tulisan ini.
Islam itu sudah masuk Jawa sebelum Majapahit berdiri. Di Gresik, kota pelabuhan besar Majapahit, sudah ada makam *Fatimah binti Maimun* yang berangka tahun 1082 M. Majapahit sendiri baru berdiri tahun 1293 M. Bahkan pendiri Majapahit, Raden Wijaya, mendirikan kerajaannya dibantu oleh seorang bangsawan muslim bernama *Arya Wiraraja, Adipati Madura di jaman Singhasari*. Arya Wiraraja kemudian menjadi satu dari tiga orang ‘Menko’ di awal Majapahit berdiri.
Bagaimana ceritanya sampai ada pesantren di Majapahit? Itu terjadi di masa *Raja Kertawijaya (1447-1451)*. Ia sedang berjuang membangun kembali Majapahit dari keterpurukan akibat perang saudara dan pemberontakan. Di tahun 1399 Majapahit harus menghadapi pemberontakan *Parameswara* di Palembang hingga Palembang lepas dan dikuasai kawanan bajak laut Cina pimpinan *Liang Tau Ming*. Tahun 1401 - 1405 kekuatan Majapahit terkuras karena perang saudara antara Raja *Wikramawardhana* dan *Bhre Wirabumi*. Di masa pemerintahan Rani Suhita, Majapahit juga harus menghadapi pemberontakan di Bali, Pasunggiri, dan Daha. Kekuatan Majapahit terus melemah. Belum lagi banyak pejabat Majapahit yang kini gemar berjudi, korupsi, pesta, dan mabuk-mabukan.
Atas saran permaisuri Dwarawati, Kertawijaya memanggil seorang *ulama muda bernama Ali Rahmatullah* untuk membantunya membenahi moralitas para pejabat. Ali Rahmatullah adalah putera *Ibrahim Assamarkandi*, ulama asal Samarkand dan keturunan Rasulullah generasi ke-20 yang berdakwah di Tuban. Kakeknya bernama *Husein Jamaludin Akbar*; seorang diplomat kesultanan India yang berdakwah di Asia Tenggara dan dikenal di Jawa dengan nama *Syeikh Jumadil Kubro*. Ibunya, Dewi Candrawulan, adalah puteri raja Champa dan adik permaisuri Majapahit Dwarawati.
Meskipun Siwa dan Budha menjadi agama resmi kerajaan, Majapahit dikenal toleran dengan Islam. *Banyak pejabat Majapahit yang beragama Islam* seperti Adipati Tuban Arya Teja, Adipati Madura Arya Lembu Peteng, Adipati Palembang Arya Damar, dan Adipati Surabaya Arya Lembu Sora.
Begitulah sejarah itu dimulai. Dengan bantuan Adipati Surabaya Arya Lembu Sora, *Ali Rahmatullah membangun pesantren di daerah Ampeldenta Surabaya* di pertengahan abad ke-15. Ia pun dikenal sebagai *Sunan Ampel*. Tak butuh waktu lama, Pesantren Ampeldenta terkenal ke seantero Majapahit dan menjadi *pusat pendidikan para pangeran dan anak-anak bangsawan Majapahit*. Di kalangan rakyat, dakwah Sunan Ampel pun meluas dan diterima masyarakat.
Untuk memperbaiki moral rakyat dan pejabat, *Sunan Ampel mengajarkan filosofi Moh Limo*. Moh artinya tidak. Limo artinya lima. Raden Rahmat mendidik para muridnya agar tidak melakukan 5 perbuatan buruk: mabok (mabuk-mabukan), main (bermain judi), madon (berzina), madat (narkoba), dan maling (mencuri, merampok, dan korupsi).
Selain program pembinaan moral, Sunan Ampel juga mengajarkan ilmu pemerintahan. *Ia memang dikenal sebagai seorang ahli tata negara*. Kemajuan pengelolaan pemerintahan di negeri-negeri Islam menjadi referensi dan kiblat pengelolaan pemerintahan masa itu. Ahli-ahli tata negara Islam telah banyak menjadi penasehat pemerintahan di kerajaan-kerajaan Eropa dan Asia. Buku-buku karya para cendikiawan muslim di bidang pemerintahan telah dipelajari oleh Sunan Ampel. Praktek langsungnya juga telah ia lihat di berbagai negeri Islam.
*Tahun 1479 Sunan Ampel wafat dan dimakamkan di Ampeldenta*. Ia telah menorehkan sejarah penting di Majapahit. Islam semakin mendapat tempat di Majapahit. Namanya dikenang hingga kini sebagai seorang ulama dan sesepuh Walisongo. Ia bahkan pernah diangkat menjadi Adipati Surabaya saat Lembu Sora wafat. Ia juga telah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti *Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Raden Fatah yang menjadi Sultan Demak*.
Kebesaran Sunan Ampel dilanjutkan oleh muridnya yang bernama *Raden Paku*. Ia putera *Maulana Ishaq* yang berdakwah di kerajaan Blambangan. Keberhasilan Maulana Ishaq mengatasi pandemi yang melanda Blambangan membuat Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu menikahkannya dengan puteri *Dewi Sekardadu*. Dari pernikahan inilah lahir Raden Paku di tahun 1422 M.
Setelah tamat dari pesantren Ampeldenta, Raden Paku melanjutkan pendidikannya ke Aceh dan Mekah, kemudian kembali ke Majapahit untuk berdakwah. *Ia mendirikan pesantren di perbukitan Giri pada tahun 1481 hingga ia dikenal sebagai Sunan Giri*.
Pasca wafatnya Sunan Ampel, pamor Pesantren Giri makin dikenal. Sunan Giri bahkan lebih dikenal dibandingkan gurunya. Ia juga mewarisi ilmu tata negara hingga muridnya berdatangan dari berbagai penjuru nusantara. Tidak hanya anak-anak bangsawan Majapahit, tapi juga bangsawan dari berbagai kerajaan di Sumatera, Buton dan Gowa di Sulawesi, Banjar – Martapura – Kutai di Kalimantan, Madura, Lombok, bahkan Ternate dan Tidore di Maluku.
Di akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, *banyak kerajaan di nusantara yang bertransformasi menjadi kesultanan Islam*. Transformasi ini dilakukan oleh raja-raja muda alumni Pesantren Giri. Di Majapahit sendiri, banyak santri-santri Giri yang kemudian menjadi adipati di daerah-daerah.
Sunan Giri tak hanya seorang ulama yang faqih. *Ia juga dikenal sebagai seniman dan pebisnis ulung*. Di bidang seni, Sunan Giri menciptakan lagu dan permainan rakyat yang kental dengan muatan Islam. Salah satunya lagu *_Cublak-Cublak Suweng_* yang mengajak rakyat untuk menahan hawa nafsu dan bersikap rendah hati. Ia juga menjadikan kesenian wayang untuk berdakwah.
*Sunan Giri wafat di tahun 1506* setelah 25 tahun mengembangkan Pesantren Giri. Ia berhasil melakukan kaderisasi dan mencetak banyak sekali tokoh ulama dan bangsawan di berbagai kerajaan. *Pesantren Giri terus berkembang hingga menjadi rujukan pusat pendidikan agama dan ilmu pemerintahan terbaik selama 200 tahun*. Puncak keemasannya terjadi di masa Sunan Prapen. Pesantren Giri menjadi lambang legitimasi raja-raja nusantara. Tak jarang pelantikan raja dilakukan oleh Sunan Prapen. END
Catatan:
Kisah-kisah seru petualangan ulama memperkenalkan Islam di nusantara dapat dibaca di buku saya yang berjudul *Menebar Cahaya di Negeri Sekeping Surga* yang diterbitkan oleh Penerbit Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar