Mardigu, sahabat polisi yang menjadi pengamat teroris itu mengatakan, di antara semua mujahid yang ada, Abu Tholut adalah sosok yang paling sangar. Abu Tholut dianggap tidak punya rasa ampun pada korbannya. Sebagai eksekutor lapangan, Abu Tholut sanggup membunuh semua korbannya tanpa terkecuali. "Dia kayak preman, dihabisi semua sama dia. Dia yang paling sangar. Main bunuh, rampok beberapa kali di Jawa Tengah," ujarnya.
Abu Tholut, lanjut Mardigu, tidak punya kepangkatan yang tinggi secara organisasi. Namun Abu Tholut punya kemampuan yang jauh lebih banyak dari mujahid lainnya. Abu Tholut bisa membuat senjata, merakit senjata oplosan menjadi baru, menjalankan mobil tank, dan lainnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mencatat, pada Jumat sore tanggal 11 Juli 2003, Abu Tholut pernah disergap di Semarang dan telah memiliki laboratorium bom. Dia juga saat itu diketahui memiliki senjata M 16. Selain menangkap empat tersangka, polisi juga menemukan bahan peledak, dan berbagai dokumen yang disebut polisi sebagai dokumen JI. "Kalau dilihat dari recordnya, dia paling berbahaya," kata Ansyaad Mbai.
Senada dengan Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono. Dikatakan Hendro, Abu Tholut merupakan koordinator kerusuhan Poso tahun 2000 silam. "Abu Tholut itu orang yang sangat berbahaya. Saya pertama kali mengetahui dia pada 2000 silam. Saat itu, Abu Tholut masih bernama Mustofa. Dia merupakan koordinator kerusuhan Poso. Tugasnya antara lain merekrut orang dan melatih calon teroris. Dia sahabat Nasir Abas dan juga anak buah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir," kata Hendropriyono
Ansyaad Mbai menduga, Medan dijadikan basis sementara, mungkin saja di sana banyak yang mudah dijadikan sasaran untuk mencari dana. Pulau Jawa tetap dijadikan basis utama, sekaligus sasaran penyerangan. Kini, saat jaringannya digerebek Polri, Abu Tholut sudah diperkirakan tengah menyembunyikan diri sambil membangun kekuatan. "Yang jelas dia melarikan diri, tentu dia akan merekrut terus," ujar pensiunan jenderal dua Polri ini.
Alhasil, Abu Tholut sudah berhasil mengumpulkan kekuatan lintas tandzhim (faksi) gerakan bawah tanah. Setiap kelompok diduga disokong puluhan orang. Jika digabung, kekuatan Tholut bisa setara dengan satu kompi pasukan (100 orang). Itu masih kata Ansyaad Mbai.
"Ada tiga penyokong utama kekuatan Tholut, yakni NII, eks JI, dan kelompok Ajengan Banten. Mereka dicekoki faham bahwa dalam sebuah negara yang menurut mereka negara kafir, merampok adalah pekerjaan halal. Termasuk membunuh aparat negara juga halal karena mereka tidak menegakkan hukum sesuai tafsir kelompok ini," tandas Ansyaad.
Saat memimpin gerilya di Poso, hampir semua faksi didekati oleh Tholut. Mereka yang menolak bergabung menjadi luluh dan mengirimkan orang. "Beda dengan Noordin, Tholut didengar karena kerjanya bukan pintar bicaranya. Istilahnya itqonul amal, kerjanya rapi," kata Ansyaad.
Kapolri ketika itu juga menjelaskan bahwa 245 teroris telah bebas dari tahanan dan sekarang kembali ke masyarakat. Polri kewalahan untuk memantau mereka satu per satu. Karena itu, sangat wajar jika dari 245 orang itu ada yang "bermain" kembali di dunia teror -meneror ini.
Menutut pengamat teroris Al Chaidar, berdasarkan informasi yang diperolehnya, polisi baru melumpuhkan enam dari 114 sel jaringan teroris yang dibentuk Abu Tholut. "Meski sebagian sudah dilumpuhkan di Sumatera, selnya masih sangat kuat. Masih tersisa seratus lebih," kata Chaidar
Dengan modal jaringan yang kuat, Abu Tholut dan kelompoknya bakal beraksi lagi. Sebagai bekas Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah, Abu Tholut memiliki jaringan luas untuk membentuk sel-sel teroris baru. Selain itu, jabatannya sebagai instruktur perang di kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina, membuatnya punya banyak murid.
Al Chaidar menjelaskan, jaringan Abu Tholut memiliki pola serangan yang berbeda dengan kelompok Noor Din M. Top. "Polanya serangan terbuka, karena Abu Tholut ahli perang kota," kata Chaidar.
Sementara itu, pengamat terorisme lainnya Dynno Chressbon mengatakan, kelompok Abdullah Sunata dan Abu Tholut masih menyimpan lima plot target yang belum dilaksanakan. Kelima plot tersebut adalah penyerangan terhadap Markas Komando Brimob di Jawa Barat, Mabes Polri, dan Istana Negara, serta penyerangan orang asing dan penyerangan kedutaan asing. "Mereka menyebut itu sebagai kewajiban yang tertunda," kata Dynno.
Dynno menilai Abu Tholut menggunakan metode yang digunakan di daerah konflik, seperti Ambon dan Poso, yang memang mengincar aparat dalam operasinya dan menggunakan prinsip marhalah qishas (pembalasan setimpal). "Mereka menggunakan prinsip pembalasan setimpal, yang memang digunakan eks pelatihan Afganistan dan Filipina," kata Dynno kemarin. "Kalau (mati) tiga, dibalas tiga. Darah dibalas darah," ujarnya.
Prinsip tersebut terlihat dari pernyataan Asep Jaja dan Dahlan sewaktu di pengadilan. Saat itu Jaja dan Dahlan mengaku menembak aparat untuk melakukan pembalasan yang setimpal. "Itu sebenarnya bukan hal baru, sudah diajarkan di kamp pelatihan Afganistan dan Filipina," kata Dynno lagi.
Mengenai perampokan bersenjata yang dilakukan, Dynno melihatnya bukan hal yang aneh. Menurut dia, metode tersebut telah dilakukan sejak di Poso dan Jawa Tengah. Hasil perampokan yang disebut fa'i itu digunakan untuk mendanai terorisme
Setelah Noor Din M. Top dan Azahari tewas, perubahan pola serangan tersebut semakin nyata karena pemimpin baru kelompok teror tersebut, Abdullah Sunata dan Abu Tholib, berbeda mazhab dengan Noor Din dan Azahari. "Sejak awal, mereka berdua memang sudah menentang pola bom bunuh diri Noor Din dan Azahari," tandas Dynno.
Mantan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, dalam sebuah jumpa pers saat masih memimpin Polri, menyebut Abu Tholut sebagai tokoh teroris berbahaya. Selain Abu Tholut, tokoh teroris berbahaya yang lain adalah Taufik Hidayat, Iwan, Jefri alias Kamal, dan Alex Cecep Gunawan. Mereka berada di urutan teratas daftar pencarian orang (DPO) atau buronan Mabes Polri.
Selanjutnya, Taufik Hidayat diduga terlibat dalam pembunuhan Brigadir Simanjuntak, merampas senjata, dan memimpin perampokan Bank CIMB Niaga. Taufik, kata Bambang, masih memegang senjata M-16 yang dirampas dari anggota Brimob.
Jefri alias Kamal, kelahiran Depok, menurut Bambang, adalah eks narapidana dalam pembuatan bom di Cimanggis. Ia juga ikut memfasilitasi pelatihan militer di Aceh dan terlibat langsung dalam perampokan di Sumatera Utara.
Kemudian yang masuk dalam DPO penting adalah Alex Cecep Gunawan. Ia merupakan eks veteran dari kelompok Poso dan menjadi jaringan radikal dari Jawa Tengah. Alex juga tercatat ikut melakukan perampokan di Sumatera Utara. Ambil alih kekuasaan
Kabarnya, polisi menyebut Abu Tholut terkait dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), organisasi Islam yang kerap dihubungkan dengan sejumlah aksi terorisme di tanah air. Yang jelas, ini adalah rekayasa polisi, untuk mengaitkan Abu Tholut dengan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Rekayasa itu dimaksudkan untuk menjerat Ustadz Abu dengan tuduhan terkait terorisme.
Abu Tholut, lanjut Mardigu, tidak punya kepangkatan yang tinggi secara organisasi. Namun Abu Tholut punya kemampuan yang jauh lebih banyak dari mujahid lainnya. Abu Tholut bisa membuat senjata, merakit senjata oplosan menjadi baru, menjalankan mobil tank, dan lainnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mencatat, pada Jumat sore tanggal 11 Juli 2003, Abu Tholut pernah disergap di Semarang dan telah memiliki laboratorium bom. Dia juga saat itu diketahui memiliki senjata M 16. Selain menangkap empat tersangka, polisi juga menemukan bahan peledak, dan berbagai dokumen yang disebut polisi sebagai dokumen JI. "Kalau dilihat dari recordnya, dia paling berbahaya," kata Ansyaad Mbai.
Senada dengan Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono. Dikatakan Hendro, Abu Tholut merupakan koordinator kerusuhan Poso tahun 2000 silam. "Abu Tholut itu orang yang sangat berbahaya. Saya pertama kali mengetahui dia pada 2000 silam. Saat itu, Abu Tholut masih bernama Mustofa. Dia merupakan koordinator kerusuhan Poso. Tugasnya antara lain merekrut orang dan melatih calon teroris. Dia sahabat Nasir Abas dan juga anak buah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir," kata Hendropriyono
Ansyaad Mbai menduga, Medan dijadikan basis sementara, mungkin saja di sana banyak yang mudah dijadikan sasaran untuk mencari dana. Pulau Jawa tetap dijadikan basis utama, sekaligus sasaran penyerangan. Kini, saat jaringannya digerebek Polri, Abu Tholut sudah diperkirakan tengah menyembunyikan diri sambil membangun kekuatan. "Yang jelas dia melarikan diri, tentu dia akan merekrut terus," ujar pensiunan jenderal dua Polri ini.
Alhasil, Abu Tholut sudah berhasil mengumpulkan kekuatan lintas tandzhim (faksi) gerakan bawah tanah. Setiap kelompok diduga disokong puluhan orang. Jika digabung, kekuatan Tholut bisa setara dengan satu kompi pasukan (100 orang). Itu masih kata Ansyaad Mbai.
"Ada tiga penyokong utama kekuatan Tholut, yakni NII, eks JI, dan kelompok Ajengan Banten. Mereka dicekoki faham bahwa dalam sebuah negara yang menurut mereka negara kafir, merampok adalah pekerjaan halal. Termasuk membunuh aparat negara juga halal karena mereka tidak menegakkan hukum sesuai tafsir kelompok ini," tandas Ansyaad.
Saat memimpin gerilya di Poso, hampir semua faksi didekati oleh Tholut. Mereka yang menolak bergabung menjadi luluh dan mengirimkan orang. "Beda dengan Noordin, Tholut didengar karena kerjanya bukan pintar bicaranya. Istilahnya itqonul amal, kerjanya rapi," kata Ansyaad.
Kapolri ketika itu juga menjelaskan bahwa 245 teroris telah bebas dari tahanan dan sekarang kembali ke masyarakat. Polri kewalahan untuk memantau mereka satu per satu. Karena itu, sangat wajar jika dari 245 orang itu ada yang "bermain" kembali di dunia teror -meneror ini.
Menutut pengamat teroris Al Chaidar, berdasarkan informasi yang diperolehnya, polisi baru melumpuhkan enam dari 114 sel jaringan teroris yang dibentuk Abu Tholut. "Meski sebagian sudah dilumpuhkan di Sumatera, selnya masih sangat kuat. Masih tersisa seratus lebih," kata Chaidar
Dengan modal jaringan yang kuat, Abu Tholut dan kelompoknya bakal beraksi lagi. Sebagai bekas Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah, Abu Tholut memiliki jaringan luas untuk membentuk sel-sel teroris baru. Selain itu, jabatannya sebagai instruktur perang di kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina, membuatnya punya banyak murid.
Al Chaidar menjelaskan, jaringan Abu Tholut memiliki pola serangan yang berbeda dengan kelompok Noor Din M. Top. "Polanya serangan terbuka, karena Abu Tholut ahli perang kota," kata Chaidar.
Sementara itu, pengamat terorisme lainnya Dynno Chressbon mengatakan, kelompok Abdullah Sunata dan Abu Tholut masih menyimpan lima plot target yang belum dilaksanakan. Kelima plot tersebut adalah penyerangan terhadap Markas Komando Brimob di Jawa Barat, Mabes Polri, dan Istana Negara, serta penyerangan orang asing dan penyerangan kedutaan asing. "Mereka menyebut itu sebagai kewajiban yang tertunda," kata Dynno.
Dynno menilai Abu Tholut menggunakan metode yang digunakan di daerah konflik, seperti Ambon dan Poso, yang memang mengincar aparat dalam operasinya dan menggunakan prinsip marhalah qishas (pembalasan setimpal). "Mereka menggunakan prinsip pembalasan setimpal, yang memang digunakan eks pelatihan Afganistan dan Filipina," kata Dynno kemarin. "Kalau (mati) tiga, dibalas tiga. Darah dibalas darah," ujarnya.
Prinsip tersebut terlihat dari pernyataan Asep Jaja dan Dahlan sewaktu di pengadilan. Saat itu Jaja dan Dahlan mengaku menembak aparat untuk melakukan pembalasan yang setimpal. "Itu sebenarnya bukan hal baru, sudah diajarkan di kamp pelatihan Afganistan dan Filipina," kata Dynno lagi.
Mengenai perampokan bersenjata yang dilakukan, Dynno melihatnya bukan hal yang aneh. Menurut dia, metode tersebut telah dilakukan sejak di Poso dan Jawa Tengah. Hasil perampokan yang disebut fa'i itu digunakan untuk mendanai terorisme
Setelah Noor Din M. Top dan Azahari tewas, perubahan pola serangan tersebut semakin nyata karena pemimpin baru kelompok teror tersebut, Abdullah Sunata dan Abu Tholib, berbeda mazhab dengan Noor Din dan Azahari. "Sejak awal, mereka berdua memang sudah menentang pola bom bunuh diri Noor Din dan Azahari," tandas Dynno.
Mantan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, dalam sebuah jumpa pers saat masih memimpin Polri, menyebut Abu Tholut sebagai tokoh teroris berbahaya. Selain Abu Tholut, tokoh teroris berbahaya yang lain adalah Taufik Hidayat, Iwan, Jefri alias Kamal, dan Alex Cecep Gunawan. Mereka berada di urutan teratas daftar pencarian orang (DPO) atau buronan Mabes Polri.
Selanjutnya, Taufik Hidayat diduga terlibat dalam pembunuhan Brigadir Simanjuntak, merampas senjata, dan memimpin perampokan Bank CIMB Niaga. Taufik, kata Bambang, masih memegang senjata M-16 yang dirampas dari anggota Brimob.
Jefri alias Kamal, kelahiran Depok, menurut Bambang, adalah eks narapidana dalam pembuatan bom di Cimanggis. Ia juga ikut memfasilitasi pelatihan militer di Aceh dan terlibat langsung dalam perampokan di Sumatera Utara.
Kemudian yang masuk dalam DPO penting adalah Alex Cecep Gunawan. Ia merupakan eks veteran dari kelompok Poso dan menjadi jaringan radikal dari Jawa Tengah. Alex juga tercatat ikut melakukan perampokan di Sumatera Utara. Ambil alih kekuasaan
Kabarnya, polisi menyebut Abu Tholut terkait dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), organisasi Islam yang kerap dihubungkan dengan sejumlah aksi terorisme di tanah air. Yang jelas, ini adalah rekayasa polisi, untuk mengaitkan Abu Tholut dengan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Rekayasa itu dimaksudkan untuk menjerat Ustadz Abu dengan tuduhan terkait terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar